INDONESIA, NEGARA BERKEMBANG YANG TERLALU MEMANJAKAN WARGANYA DALAM HAL LAYANAN KESEHATAN, SETUJU ATAU TIDAK SETUJU?

Sindhu Wardhana
5 min readMar 20, 2021

--

Arti kata “manja” dari website KBBI

Sesuai judulnya, warga negara Indonesia adalah warga yang terlalu dimanjakan dalam hal layanan kesehatan kesehatan dibandingkan mungkin dengan negara maju sekalipun. Membaca kalimat di atas, mungkin para pembaca yang terhormat langsung mengernyitkan dahi dan bergumam “nih penulis halu mungkin ya?” atau “mungkin penulis ini sedang sarkasme?”. Oke, yang pertama saya siap dibawa ke psikolog untuk dites kejiwaan, dan kedua tidak perlu sarkasme, hidup di Indonesia sudah cukup puas menikmati paradoks dan hipokrasi :-). Kembali ke topik, warga Indonesia masih “kekanakan” dalam hal perilakunya, dan akhirnya menjadi beban sistem kesehatan secara nasional, di mana ini akan dibayar mahal oleh generasi-generasi selanjutnya. Tentu saja sebagai orang yang kesehariannya berkecimpung dengan data, saya harus bisa mempertanggungjawabkan apa yang saya ungkapkan dengan data dan fakta. Oleh karena itu mari kita telaah dengan melihat visualisasi data yang berasal dari sample data BPJS periode 2017–2018 di Visualisasi 1. Data yang digunakan diperkirakan hanya sekitar 10% total data dengan metode random sampling untuk kompetisi di BPJS Visualthon 2020, berdasarkan pemaparan Direktur TI BPJS Kesehatan.

Visualisasi di atas merupakan data jumlah kunjungan dan nilai biaya rumah sakit atas rujukan dari fasilitas kesehatan di tingkat pertama di seluruh Indonesia, dimana semakin merah di peta maka semakin tinggi nilai dari biaya rujukan. Pada sebelah kanan bisa kita lihat 5 provinsi dan 5 diagnosa penyakit rujukan terbesar, tentu saja provinsi didominasi oleh provinsi-provinsi dengan penduduk terbesar di Pulau Jawa. Lalu dimana letak manjanya orang Indonesia adalam hal layanan kesehatan? Anda bisa lihat pada 5 diagnosa terbesat, penyakit 5 terbesar dalam hal biaya adalah:

1. Essential primary hypertension (hipertensi) — 264 miliar

2. Type 2 diabetes (diabetes tipe 2) — 181 miliar

3. Fuctional dyspepsia (asam lambung) — 170 miliar

4. Other anaemias (anemia) — 158 miliar

5. Chronic kidney disease (gagal ginjal) — 152 miliar

Semua penyakit berbiaya mahal di atas (angka di atas masih sekitar dari 10% total biaya asli) adalah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh pola hidup yang “kekanakan”, mari kita bahas lebih lanjut. Menurut Journal of American Medical Association, Indonesia berada di peringkat keempat tertinggi dalam hipertensi (Kompas, 2017). Penyebab dari hipertensi adalah pola konsumsi yang tinggi garam, kurangnya buah, kurang olahraga, tingginya BMI, stress, kurang tidur, alkohol, dan merokok. Kemudian diabetes tipe 2, Indonesia pada 2017 berada pada peringkat 6 dunia menurut International Diabetes Federation (IDF) (Kementerian Kesehatan, 2018), dimana penyebabnya hampir sama dengan hipertensi namun berbeda di konsumsi gula. Asam lambung juga disebabkan oleh merokok, stress, alkohol, kurang tidur, dan makanan pedas yang menjadi favorit lidah orang Indonesia. Anemia bisa disebabkan karena pola makan yang kurangnya asupan vit B12, zat besi dan asam folat. Terakhir adalah gagal ginjal yang disebabkan kurang olahraga, kurang minum, merokok, dan alkohol. Jadi bisa kita simpulkan bahwa pola hidup “kekanakan” orang Indonesia merupakan penyebab utama mengapa biaya kesehatan di Indonesia begitu besar. Jika saja warga Indonesia lebih “dewasa” dalam pola hidupnya, biaya-biaya tersebut dapat digunakan untuk hal lain yang lebih berguna.

Visualisasi 2: Analisa Tren Jumlah dan Biaya Berdasarkan Diagnosis Penyakit

Baiklah kita tajamkan lagi, pertanyaan berikutnya yang akan kita jawab adalah segmentasi warga yang seperti apakah penyakit-penyakit tersebut berada. Pada visualisasi di atas, bisa kita lihat (silahkan menuju link tableu public di: s.id/PMDashboard ) peserta BPJS kelas 1 lebih besar dibandingkan kelas 2 dan 3 kecuali pada anemia dimana kelas 3 lebih banyak dibanding kelas lainnya. Hal ini memperkuat argumentasi, bahwa penyakit-penyakit tersebut kecuali anemia bukan terjadi karena tingkat pendapatan masyarakat, namun memang karena pola gaya hidup. Memang sejelek apa sih pola hidup masyarakat Indonesia?

Berdasarkan hasil survei Fonterra Brands Indonesia bersama dengan PEROSI (Perhimpunan Osteoporosis Indonesia) di tahun 2016, 4 dari 5 orang di Indonesia tidak melakukan olahraga secara rutin. Kurangnya olahraga juga menjadi salah satu tingginya stress yang kemudian berujung pada menurunnya kualitas atau jam tidur. Menurut Stephen Rudgards perwakilan FAO di 2019, Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi pada beras namun rendah dalam konsumsi sayuran, buah, daging, dan lemak, sehingga kadar gizinya tidak berimbang. Fakta ini belum ditambah gemarnya orang Indonesia menyantap makanan bersantan, gorengan, dan memiliki kadar garam ataupun gula yang tinggi.

Pola hidup “kekanakan” terakhir yang menjadi sebuah paradoks di negara berkembang seperti Indonesia adalah tingginya angka orang merokok. Merokok merupakan gaya hidup paling “membunuh” di dunia, menurut WHO rokok menyebabkan 8 juta kematian per tahun di seluruh dunia, hampir tiga kali lipat dibandingkan Covid-19 yang “hanya” 2.69 juta dalam 1 tahun ini. Dari 8 juta kematian tersebut 7 juta dialami oleh perokok aktif dan 1.2 juta sisanya dialami perokok negatif. Mirisnya 80% perokok di seluruh dunia berada di negara berpenghasilan rendah hingga menengah seperti Indonesia. Masih menurut WHO (2020), berdasarkan persentase, Indonesia berada pada peringkat 7 dunia dalam perokok aktif dengan 39.9%, namun melihat jumlah penduduknya, Indonesia bisa jadi peringkat pertama karena 57 juta penduduknya merupakan perokok aktif.

Seperti dijelaskan di paragraf pertama di atas, berdasarkan data dan fakta yang telah dipaparkan, warga negara Indonesia itu terlalu dimanjakan dalam hal layanan kesehatan. Biaya tinggi dari rujukan rumah sakit bersumber dari pola hidup masyarakat Indonesia yang belum “dewasa” yang masih suka merokok, malas berolahraga dan tidak menjaga pola konsumsi. Padahal dana BPJS yang masih harus dibantu dari APBN bisa dialihkan ke program lainnya seperti pendidikan, infrastruktur, atau paling tidak bisa dikurangi untuk mengurangi beban APBN dan hutang yang akan ditanggung anak cucu kita nanti. Singkat kata, sebagai generasi muda Indonesia yang baik, mari kita perbaiki pola hidup kita dengan tidak merokok, berolahraga, dan mengubah pola konsumsi sebelum terlambat di masa tua nanti. Mari kita hidupkan slogan “Mens Sana In Corpore Sano” yang dulu sering kita dengar sewaktu kita masih berada di Sekolah Dasar, mari kita ajak orang-orang terdekat kita dan lingkungan kita untuk memperbaiki pola hidup demi masa depan kita dan Indonesia yang lebih baik.

#DSW21 #datastorytelling #SDG03

--

--

Sindhu Wardhana
Sindhu Wardhana

Written by Sindhu Wardhana

0 Followers

Analyst and UX UI Expert of GAS POL Team, also a pretty good story teller.

No responses yet